Rabu, 22 Februari 2012

Haikal



“Ketika seseorang benar-benar menginginkan sesuatu, alam semesta, diam-diam,  akan membantu mewujud-nyatakan impiannya itu.”
(Sang Alkemis – Paulo Coelho)

Kutipan ini adalah harta karunku. “Ini petanya,” pikirku, “setidaknya, ini petunjuk berharga!” Tentu, ini simpulan belakangan: setelah kutemukan kutipan lain dalam terjemahan tulisan yang sama tiga hari kemudian,”Hatimu, harta karunmu.
Kata-kata ini kutemukan di footer e-mail dari Haikal. Sedang, nama “Haikal” ini pun kutemukan belakangan di komputer perpustakaan beberapa waktu setelah tak aku temukan jawaban dari suratnya ketika hal itu kutanyakan kepadanya. Maka, kusebut saja namanya kata asing jawaban teka-teki silang yang kutemukan setelah pencarian sia-sia ke dalam dua jilid bersampul hijau (dan berdebu) leksikon Islam.
Ia sebuah kejutan tiba-tiba: kebetulan yang menyenangkan. Pemutaran film dokumenter pada sebuah festival yang mempertemukan kami. Ingatan selebihnya masih kabur.
Wajahnya tak asing.
Namun, hal itu dikatakannya duluan.
”Wajah yang tak asing!” katanya.
 Ini dibuatnya sengaja?
*
Wajahnya mengingatkan kepadaku seseorang yang menyapaku waktu ambil air minum saat break diskusi (tentang arogansi kristianisme kalau tak salah) di Kanisius,”Eh, besok ada diskusi menarik di CCF!” Aku tak berkomentar,”Wajah ini kelihatannya tak asing!”
Orang itu mirip sekali dengannya. Hanya, dia cukup rapi waktu itu: kuciran rambut dan bajunya.
Dan, esoknya waktu tak sengaja aku lewat di depan gedung yang dimaksudnya, kulihat ada poster terpampang. Isinya pengumunan diskusi `Sufisme di Prancis` beberapa waktu ke depan. Sayang, sesudahnya, itu terlewat karena lupa. Dan, sesal adalah sesuatu yang paling kubenci.
**
Oya, seingatku, orang yang tak kalah mirip pernah kulihat sebelumnya saat ada perbincangan tentang Derrida di sebuah toko buku pada suatu petang.
Ada di kepalaku dua kutipan yang menarik: dua dari tiga pembicara.“Setiap oposisi biner harus dicurigai”, itu yang pertama; tentu yang berikut kedua,”Untuk menjadi seorang Derrida, aku harus melupakan –dengan demikian membongkar ingatan tentangnya-  (semua pemikiran)nya.”
Aku sungguh tak ingat pembicara yang ketiga. Perhatianku terpaut pada orang yang kusebut tadi. Saat serius menyimak sesuatu, dagunya mendongak 20 derajat. Sepertinya, ia sedang merenangi sesuatu; barangkali banyak oksigen dibutuhkannya agar darah di kepala mengalir lancar.
Sementara, sekilas kulihat orang yang duduk di sebelahnya tampaknya pernah kujumpai beberapa kali pada diskusi serupa, tentang pop chistianity dan revolusi damai di salah satu negara tetangga, musik kolaborasi dan dialog antar agama, juga sesudahnya laporan kerja sebuah LSM di salah satu pulau di Indonesia Timur, serta peluncuran buku sastra perempuan seks ‘seseorang berwajah rembulan’ (temanku yang juga suka baca karya-karya Coelho menyebutnya demikian).
Dalam beberapa diskusi politik, sekilas kulihat dia juga datang. Namun, baru kali ini, kulihat dia dan orang itu bersebelahan. Ia tak tertertarik dengan politik, dan tak begitu dekat dengan orang tersebut? 
Di tangannya, sebuah ballpoint dan buku catatan kecil. Arah tatapan dari balik kaca matanya ke bawah 30 derajat dari tiang sandaran. Sesekali, tangannya bergerak-gerak mencatat sesuatu. Dan, satu hal sebenarnya masih menjadi sebuah tanda tanya: bagaimana hasil rangkaian pemahaman pembicaraan diskusi tersebut(?)     
Kutandai saja orang itu di kepalaku dengan kata Cut Nya Din. Aku tak punya alasan yang memadai tentang hal ini.Hihihi, barang kali perjuangannya yang paling berat, melupakan keperempuanannya saat berperang untuk Aceh. Ini alasan konyol untuk menyebut pernyataan tersebut ke dalamDerridean’. Bahwasanya, dia Cut Nya Din yang melupakan (dengan begitu membongkar [sebagaimana kata pembicara kedua tadi])  ingatan tentang keperempuanannya. Biarlah demikian.
Toko sudah tutup.Gerimis jatuh; rintik-rintik, sisa hujan yang tak tersadari sebelum petang datang. Maka, bergegaslah ia. Sandal jepit dan sepeda buntutnya membawanya berlalu menembus gelap.
Sementara, ada yang masih bersikeras menyala.Terang itu di kepala.
***
Jauh sesudahnya, ada lagi orang yang mirip muncul begitu saja di belakangku saat duduk nonton titer Jerman  Manusia Bundar: tentang asal usul bumi dan kenapa manusia jatuh cinta satu dengan yang lain. Dari tontonan tersebut, sementara kusimpulkan itu semua demi berlangsungnya pesta perjamuan dewa dewi.
Pada mulanya, adalah pesta, perjamuan makan malam.”Siapa yang akan selalu menyiapkan segala sesuatunya?” Demikian, persoalan dewa dewi.Terbitlah ide cemerlang,”Jalan keluar ada pada persoalan itu sendiri!”
Diciptakanlah bumi bahan menu pesta seisinya dan manusia yang akan menyajikan segala sesuatunya. Empat tangannya, empat kakinya, dan dua kepalanya. Karena bulat bentuk umumnya, dinamainya ia manusia bundar. Untuk tugasnya, maka dikaruniainya manusia itu akal budi.
Akal budi rupanya adalah labirin ingatan akan tugasnya. Namun, di situ pula ingatan merapuh oleh lupa entah sebuah kesengajaan,“Bolehlah kami turut berpesta! Nikmat toh bukanlah dosa!”
Marahlah dewa dewi kepada manusia bundar yang  mulai melupakan tugas asali penciptanya: menyiapkan pesta! Maka, dipisahkannya mereka ke dalam ketidaklengkapan: keperempuanan dan kelaki-lakian. Manusia bundar yang satu dalam kelengkapan, diirisnya menjadi dua: ke dalam keterpisahan.
Nasi sudah menjadi bubur.Tumbuh rindu yang menyisa itulah kutuk. Buah pengetahuan menyempurnakannya: ingatan akan ketidaklengkapannya. Rindu pun menjadi sangat. Dan, ingatlah ia pada tugas yang dilupakannya,”Inikah jalan keluar labirin kutukan?”
Persatuan itu pun dirayakannya dalam pesta dewa dewi. Belakangan, kita menyebutnya pernikahan.Demikian,manusia hidup berpasang-pasangan, dan beranak-cuculah mereka. Ada yang demikian, ada yang tidak. Setidaknya, jalan persatuan telah kembali dibukakan. Sebab, tunai sudah murka dewa dewi,”Hmm, menu pesta malam ini cukup enak!”
Layar pun tutup: tanda usai pertunjukan.
*

Ketika kutengok ke belakang, ia sudah tidak di sana.
Kutandai seenaknya orang di belakangku tadi sebagai angka genap yang ganjil. Toh, seenaknya ingatan aneka peristiwa datang pergi. Barang kali, kenangan adalah burung-burung pada sebuah pohon. Hinggap sebentar kakinya di ranting satu, melompat ia ke dahan lain, lalu terbang ke mana entah.
Barang kali, ia –tepatnya, kenangan tentangnya- cuma tiga koin uang logam hilang yang kutemukan pada hari dan tempat yang berbeda (seperti perumpamaan dalam cerita Tlon, Uqbar, dan Urbis Tertius Jorge Luis Borges). Tiap koin itu kutemukan lantaran ingatan akan dua koin lainnya; satu yang kutemukan mengingatkan dua yang lain: yang hilang pada hari yang lain atau yang telah ditemukan pada hari yang berbeda. Ingatan satu peristiwa dengan yang lain mengalir putus-tersambung olehnya. Padanya, yang beraneka satu itu.
Dan, waktu berikut (sesudah kenangan itu lenyap ke dalam kerumunan orang-orang dan sesudah namanya kutemukan [tak sengaja] di layar komputer perpustakaan), kujumpai nama “Haikal” pada sebuah kamus bahasa Melayu di satu rak sebuah toko buku; artinya tertulis di situ: tempat ibadah (koptik) *